Kebijakan desentralisasi atau yang umum dikenal dengan istilah otonomi daerah mengamanatkan kepada pusat untuk menyerahkan berbagai kewenangan pemerintahan kepada daerah. Penyerahan kewenangan kepada daerah ini dimaksudkan agar tata pemerintahan dan pelayanan publik dapat berjalan secara lebih efektif dan efisien. Namun, peralihan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi tidak selamanya berjalan lurus mulus. Ketegangan hubungan pusat dan daerah terjadi akibat keengganan penyelenggara pemerintahan di tingkat pusat menyerahkan kewenangan kepada daerah dan egoisme kedaerahan yang berlebihan ditandai dengan terbitnya berbagai Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan di atasnya. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum yang berpotensi memicu konflik antara pusat dan daerah serta antara kelompok masyarakat menyangkut hak mereka untuk mendapatkan manfaat, akses dan tanggung jawab atas sumber daya alam termasuk hutan
[1]
J. Ribot,et al.
Democratic decentralization of natural resources: Institutionalizing popular participation
,
2002
.
[2]
Emily Matthews,et al.
The state of the forest: Indonesia.
,
2002
.
[3]
P. Durst,et al.
Decentralization and devolution of forest management in Asia and the Pacific. Papers from an international seminar, Davao City, Philippines, 30 November-4 December 1998.
,
2000
.
[4]
Juha S. Niemelä.
Marketing-oriented strategy concept and its empirical testing with large sawmills.
,
1993
.
[5]
J. McCarthy.
Decentralisation, local communities and forest management in Barito Selatan district, Central Kalimantan.
,
2001
.
[6]
A. Bryman.
Social Research Methods
,
2001
.