Kawasan Cagar Alam Geologi Karangsambung (KCAGK) adalah kawasan yang mempunyai keunikan batuan dan fosil, sehingga mendapat julukan sebagai “Black Box” dari proses alam semesta. Berdasarkan kebijakan tata ruang (RTRW) menetapkan KCAGK sebagai kawasan strategis sebagai fungsi daya dukung lahan. Konsekuensinya adalah semua aktifitas yang dapat mengubah bentukan geologi dilarang. Akan tetapi kegiatan penambangan masih menjadi ancaman akan hilangnya keanekaragaman bebatuan yang dilindungi. Penelitian ini memfokuskan pada aspek pengawasan yang terindikasi masih lemah dalam penyelenggaraan pentaan ruang, melalui aspek kelembagaan dan masyarakat. Aspek kelembagaan terdiri dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indinesia (LIPI) dan pemerintah daerah melalui Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD), sedangkan aspek mayarakat diwakili tokoh lokal. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik analisis studi statistik deskriptif. Proses penelitian diawali dengan menentukan jumlah populasi untuk lembaga LIPI dan BKPRD melalui purposive sampling diperoleh jumlah sampling sebesar 8 responden. Penentuan jumlah responden masyarakat yang diwakili tokoh masyarakat, menggunakan random sampling dengan teknik area probability diperoleh sampling sebesar 20 responden.Tahapan kedua adalah pengisian kuesioner melalui wawancara langsung ke responden. Tahapan ketiga adalah melakukan analisis efektivitas pengawasan kebijakan tata ruang melalui peran kelembagaan dan masyarakat. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah peran dari kelembagaan dan masyarakat belum efektiv dalam melakukan tahapan pengawasan Peraturan Daerah (Perda) RTRW di KCAGK. Indikator dari ketidak efektivan dilihat dari: 1) sosialisasi kebijakan, 2) perizinan penambangan, 3) penerapan insentif dan disinsentif, 4) pembiayaan dan 5) pemantauan dan kepedulian lingkungan. Perlu suatu perbaikan dalam meningkatkan peran kelembagaan dan masyarakat, diantaranya 1) Lembaga BKPRD perlu ditinjau ulang keberadaannya, 2) peran masyarakat perlu di berikan kewenagan lebih dalam pengawasan lingkungan di KCAGK.
[1]
Muhar Junef.
Penegakan Hukum dalam Rangka Penataan Ruang Guna Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan
,
2017
.
[2]
Sergio Segura,et al.
Monitoring and Evaluation Framework for Spatial Plans : A Spanish Case Study
,
2017
.
[3]
P. Vicente-Galindo,et al.
Sustainability multivariate analysis based on the Global Reporting Initiative (GRI) framework, using as a case study: Brazil compared to Spain and Portugal
,
2017
.
[4]
P. D. Raharjo,et al.
IDENTIFIKASI KERUSAKAN DAS LUK ULO DAN UPAYAPEMBERDAYAAN MASYARAKAT(STUDI KASUS : KARANGSAMBUNG, KABUPATEN KEBUMEN)
,
2014
.
[5]
L. Sabardi.
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
,
2014
.
[6]
Annisa Pratiwy Suwandi.
Pengaruh Kejelasan Sasaran Anggaran Dan Desentralisasi Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah (Studi Empiris pada SKPD Pemerintah Kota Padang)
,
2013
.
[7]
D. Telfer.
The Brundtland Report (
,
2012
.
[8]
A. Grêt-Regamey,et al.
Defining a typology of peri-urban land-use conflicts - A case study from Switzerland
,
2011
.
[9]
Brian R. Keeble BSc Mbbs Mrcgp.
The Brundtland report: ‘Our common future’
,
1988
.
[10]
Saptono Nugroho.
PRAKTIK GEOWISATA KARANGSAMBUNG KEBUMEN: TINJAUAN PERSPEKTIF DUALITAS
,
1970
.