Penilaian Kesiapan Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) pada UKM Batik di Solo, Yogyakarta dan Pekalongan

Abstrak Standar Nasional Indonesia (SNI) Batik telah dikembangkan di Indonesia. Hal ini dipicu maraknya kain bermotif batik yang dijual dengan harga murah serta munculnya produk batik dari luar negeri. Saat ini penerapan SNI Batik masih sangat minim dan ditanggapi berbeda oleh para pelaku industri. Meskipun ada tanggapan negatif dan positif terhadap adopsi SNI, yang penting untuk diperhatikan adalah kemampuan dan kesiapan aktor dalam sektor industri (dalam hal ini Usaha Kecil Menengah/UKM batik). Hal ini karena pelaku dalam industri yang akan menjadi pihak yang akanmemenuhi semua persyaratan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kesiapan UKM batik dalam mengadopsi SNI batik. Penilaian kesiapan didasarkan pada beberapa faktor yaitu kesiapan organisasi, kesiapan industri, kesiapan nasional, dan tekanan lingkungan. Penelitian ini menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk mendapatkan bobot kepentingan dari masing-masing faktor dan sub-faktor dalam kerangka penilaian dan Skala Likert untuk mengukur setiap sub faktor. Sejumlah 24 UKM Batik yang tersebar di Solo, Yogyakarta dan Pekalongan dinilai dengan menggunakan kerangka penilaian kesiapan yang telah disusun.Hasil pembobotan masing-masing faktor dengan menggunakan metode AHP adalah faktor kesiapan organisasi memiliki bobot sebesar 0,233; kesiapan industri sebesar 0,179; kesiapan nasional sebesar 0,391 dan tekanan lingkungan sebesar 0,197. Hasil penilaian menunjukkan bahwa seluruh UKM berada pada kategori tidak siap dan sangat tidak siap, 10 UKM berada pada kondisi tidak siap dan membutuhkan sedikit perubahan sedangkan 14 UKM lainnya berada pada kategori sangat tidak siap dan membutuhkan banyak perubahan. Abstract The Indonesian National Standard (SNI) of batik has been developed in Indonesia. This is triggered by many fabric patterned batik that sold at a low price and the influx of imported batik products. Currently, adoption SNI of Batik is still very few and responded differently by the actors of this industry. Despite the presence of negative and positive responses on SNI adoption, important to note is the ability and the readiness of the actor in the industrial sector (in this case is the Small and Medium Enterprise/SMEs of batik). It is because the actors in that industry will become a party who will fulfill all the requirements. The aim of this study is to assess SME’s readiness for SNI Batik adoption. Readiness assessment is based on several factors, i.e. organizational readiness, industrial readiness, national readiness, and environmental pressure. This study used Analytical Hierarchy Process (AHP) for assigned importance weight of each factors and sub- factors in that framework and Likert Scale for measuring each critical sub factors. Readiness of SMEs is categorized based upon the total value of using e-LRS (e-Learning Readiness Assessment). A number of 24 SME’s Batik scattered in Solo, Yogyakarta and Pekalongan was assessed using readiness assessment framework that has been developed. The results of the weighting of each factors using AHP method are organizational readiness factor has mean weight of 0.233, 0.179 for industrial readiness, 0.391 for national readiness and 0.197 for environmental pressures. Assessment results showed that all SME’s in category is not ready and not so ready, 10 SMEs are not ready condition and require little change, while the other 14 SMEs in the category not so ready and needs a lot of changes